Kawan,
ku hanya hendak berbagi tentang ini : sebuah cerpen yang mengetuk hati. Bisa jadi
apa yang kawan rasa sama persis seperti rasaku. Semoga kita semakin rajin bersyukur karena dikaruniai nikmat terindah, Islam.. :-)
![]() |
gambar ilustrasi picsource |
Sebelum
jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana
muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai
SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat
pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka
yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di
perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan.
Dalam
soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang
semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat
sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur
terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah–dia biasa
memanggilnya ukhti–jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan
menyemprotnya dengan lugas.
Dia
pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas
tangan kiri, “Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;” katanya,
“Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan
tangan kanan!” Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. “Merokok
itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan
akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu.”
Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. “Bapak
tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang
ke rumah orang yang ada anjingnya!”
Di
samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu
bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang
merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang
Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat
atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak
rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus
diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti
menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat
maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga
demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena
itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah,
tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya,
orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana
pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.
Bagi
Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan
ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan
saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama
kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah,
tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang.
Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan
lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran
dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf
nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan
baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*
Sudah
lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering
aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar.
Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga
beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada
sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba
menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.
Lama
sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling
tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, “Mas, Sampeyan sudah dengar belum?
Hindun sekarang punya syeikh baru lo?
“Syeikh
baru?” tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar.”Ya, syeikh baru. Tahu, siapa?
Sampeyan pasti enggak percaya.
“Siapa,
mas?” tanyaku benar-benar ingin tahu.”Jibril, mas. Malaikat
Jibril!”"Jibril?” aku tak bisa menahan tertawaku.
Kadang-kadang
sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak.”Jangan
ketawa! Ini serius!
“Wah.
Katanya, bagaimana rupanya?” aku masih kurang percaya.”Dia tidak cerita
rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.
“Saya
ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius,
jadi kutahan-tahan juga tawaku. “Bagaimana ceritanya, mas?
“Ya,
mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim
grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian
pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat
Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan
ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.
“Bagaimana
mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?”"Lo, malaikat Jibrilnya
sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat
Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang
tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.
“Ya,
tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!” selaku, “Kan ada
cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah
digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang
benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan
cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa
mengenalinya dan segera mengusirnya.
“Tak
tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo.”Wah.”Ketika
percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus
menelepon bila sempat, aku masih tertegun.
Aku
membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan
agama itu kini “hanya” menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang
tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa
menggerakkan hati dan pikiran orang.
Beberapa
minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini,
dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.
“Wah,
mas; Hindun baru saja membakar diri. “Apa, mas?” aku terkejut setengah mati,
“membakar diri bagaimana?
“Gurunya
yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari
kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian
membakarnya.
“Hei,”
aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di
luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.
“Yang
lucu, mas,” suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, “gurunya itu yang paling
banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak
dosanya ya, mas?!
“Aku
mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon.”Doakan sajalah mas!”
kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.
Beberapa
hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang
pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya
berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang
sudah rusak ini.
“Pernah
pulang sebentar, mas” kata Mas Danu di telepon, “dan Sampeyan tahu apa yang
dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?”***Setelah
itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga
tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima
pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: “Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari
Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).
“Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku
sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri.
Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.
***Rembang,
Akhir Ramadan 1423